Mendukung Sumbu Filosofi Yogyakarta Menuju Warisan Dunia.

KTNews. Sumbu Filosofi adalah konsep penataan tata ruang Kraton Yogyakarta yang merupakan perwujudan dari Simbol Daur Hidup Manusia yang diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono I. Daur hidup manusia yang berupa Kelahiran (sangkan), pernikahan (kedewasaan), dan kembalinya manusia kepada Sang Pencipta (paran) atau bisa disebut sebagai SANGKAN PARANING DUMADI (Asal dan tujuan dari Ada). Tiga konsep utama daur hidup manusia ini diwujudkan dalam tata ruang Kraton Yogyakarta yang berbentuk warisan budaya arsitektur yaitu Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih.

Konsep Sangkan Paraning Dumadi ini diwujudkan dalam alur filosofi yaitu SANGKANING DUMADI (Panggung Krapyak – Kraton Yogyakarta) yang bermakna proses kelahiran menuju kedewasaan. Panggung Krapyak menggambarkan Yoni atau alat kelamin wanita. Pertemuan antara Wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak (sel telur) dengan Tugu Pal Putih sebelah uatara Kraton (sperma) yang melahirkan manusia. Krapyak menurut kepercayaan Jawa khususnya Kraton adalah tempat roh-roh. Pencipta berkenan menghembuskan Roh suci kedalam badan sseorang bayi dalam kandungan sang ibu. Makna harfiah dari Krapyak adalah cagar perburuan berpagar. Ini digunakan untuk merujuk pada alam arham. Alam arham merupakan tempat bersemayam jiwa setelah berpisah dari essensi illahiyah tetapi sebelum turun ke dalam embrio. Menurut tradisi kraton kedua konsep itu berkaitan, sebab sultan memelihara rusa di kawasan tertutup, memiliki makna yang sama dengan Allah menhan jiwa-jiwa yang belum diciptakan hingga saatnya nanti tepat untuk mereka turun ke dunia. Secara simbolik Panggung Krapyak merupakan titik awal sumbu filosofis sangkan paraning dumadi. Panggung Karpyak Kraton adalah sumbu sangkaning dumadi.

PARANING DUMADI (Tugu Pal Putih – Kraton Yogyakarta) bermakna manusia telah kembali dan manunggal dengan penciptanya atau Manunggaling Kawula lan Gusti. Tugu Pal putih terletak di sebelah utara Kraton. Tugu ini dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1755. Pada saat awal berdirinya, tugu ini dikenal dengan sembutan Tugu Golong – Gilig karena bentuk bangunan puncaknya berbentuk golong (bulat) sedangkan tiangnya berbentuk gili (silinder). Golong-gilig juga melambangkan bersatunya rakyat - raja dan manusia - Sang Pencipta. Tinggi tugu ini pada mulanya mencapai 25 meter. Fungsi dari tugu ini pada masa lalu adalah untuk “tetenger” (penanda) kota dan barometer arah ketika Sri Sultan Hamengku Buwana I melakukan meditasi, di Bangsal Manguntur Tangkil. Tugu golong-gilig ini runtuh ketika terjadi gempa bumi pada 10 Juni 1867. Akhirnya pada tahun 1889 Tugu dibangun kembali dengan bentuk dan tinggi yang berbeda. Bentuk tugu bener-bener berubah dari bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi prasasti yang menunjukkan personalia yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tidak berbentuk bulat, melainkan berbentuk kerucut spiral yang meruncing.

Makna filosofis Tugu Pal Putih adalah langkah pertama menuju ke alam keabadian. Secara simbolik Tugu Pal Putih merupakan bagian penting dari konsep Sangkan Paraning Dumadi, tiga susunan sumbu silosofi (Panggung Krapyak-Kraton-Tugu). Tugu Pal Putih melambangkan lingga (alat kelamin laki-laki). Lingga adalah asal mula sperma, benih kehidupan, yang digambarkan dalam bangunan Tugu Pal Putih. Nilai filosofis Tugu Pal Putih ini merupakan cerita awal perjalanan manusia menghadap Sang Pencipta. Tugu golong-gilig mengandung makna spiritual. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dari bentuk tugu yang secara simbolik memberkan kesadaran kepada umat agar bersatu dalam kebersamaan menuju Sang Pencipta. Dalam bahasa jawa disebut Manunggaling Kawula Kalawan Gusti.